Dunia Migas


Pihak TPPI: Putusan Hakim Soal PKPU Bisa Rugikan Negara


Senin, 05/11/2012 18:51 WIB

Jakarta - Putusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan Nippon Catalyst Pte Ltd, berpotensi menimbulkan kerugian negara. Skenario PKPU yang diajukan Nippon ditengarai melibatkan mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratmo untuk kembali mengendalikan korporasi yang kini telah diambil alih negara.
"Pemilik lama disinyalir telah ikut bermain melalui Nippon Catalyst Pte Ltd dalam mengajukan PKPU Nomor Register 47. Kuat dugaan, dia bertujuan ingin kembali mengendalikan PT TPPI dengan memaksakan masuknya pengurus (administrator)," ungkap Kuasa Hukum PT TPPI, Aji Wijaya dalam keterangannya, Senin (5/11/2012).

Dijelaskan Aji, majelis hakim telah salah dalam menerapkan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan karena hakim tidak memeriksa permohonan yang diajukan oleh TPPI bernomor register 48.

"Majelis hakim telah melakukan kesalahan dengan memeriksa perkara permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dari kreditur TPPI, Nippon Catalyst Pte Ltd. Padahal, permohonan PKPU dari Nippon Catalyst itu tidak memenuhi persyaratan," ungkapnya.

Bukannya memeriksa permohonan PKPU yang diajukan TPPI, majelis hakim yang diketuai hakim Lydia Sasando Parapat justru meloloskan PKPU yang diajukan oleh kreditur.

"Jadi, benar adalah sesuai dengan ketentuan UU 37/2004 Pasal 229 ayat 3, yang harus diperiksa adalah perkara nomor 48 alias PKPU yang diajukan TPPI sebagai debitur," katanya.

Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta yang dipimpin Lydia Sasando Parapat memutuskan untuk mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan Nippon Catalyst. Untuk itu, hakim menunjuk Duma Hutapea sebagai pengurus PKPU PT TPPI dan R Nainggolan sebagai hakim pengawas.

Lebih jauh Aji menyoroti keabsahan pemberian kuasa oleh Nippon Catalyst kepada Ian PSSP Siregar. Sesuai keterangan saksi ahli, bahwa perusahaan yang berbasis di Singapura itu hanya bisa diwakili oleh dewan direksi, bukan direktur semata. "Merupakan fakta bahwa kuasa hukum itu tidak mendapat persetujuan dari dewan direksi. Yang mana baru diberikan setelah sidang terakhir kemarin," bebernya.

Perkara ini bermula dari pengajuan pailit PT TPPI oleh Argo Capital dan Argo Global yang bertindak sebagai kreditur PT TPPI ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara No.60/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. Belakangan, permohonan pailit tersebut tidak dilanjutkan ke tahap pemeriksaan lantaran adanya permohonan PKPU yang diajukan Sumber Tjipta dan Nippon Catalyst selaku kreditur dan TPPI sendiri sebagai debitur.

Berdasarkan Pasal 222 dan 224 UU 37/2004, apabila ada permohonan pailit yang diajukan oleh kreditur yang berbarengan dengan permohonan PKPU yang diajukan debitur, maka pengadilan niaga wajib mendahulukan pemeriksaan PKPU yang diajukan debitur.

Anehnya, majelis hakim justru menetapkan untuk memeriksa permohonan PKPU yang diajukan Sumber Tjipta dan Nippon Catalyst, dengan alasan telah diajukan terlebih dahulu, yakni pada 17 Oktober. Majelis hakim tidak memeriksa permohonan oleh PT TPPI dengan nomor register 48 dan permohonan Vitol Tuban Finance B.V dengan Nomor 49.

Aji Wijaya melanjutkan, kuasa dari Sumber Tjipta sudah dicabut dan sudah terkabul. "Dengan dicabutnya kuasa Sumber Tjipta, maka seharusnya perkaranya gugur. Tapi, anehnya majelis hakim tetap melanjutkan pemeriksaan perkara Nomor 47 itu," tuturnya.

Di sisi lain, surat kuasa Nippon Catalyst Pte Ltd kepada Ian PSSP Siregar juga dinilai cacat hukum lantaran surat tersebut sudah ada pada 17 Oktober 2012. Padahal, Keputusan Direksi untuk mengajukan PKPU baru ada pada 22 Oktober 2012. "Berdasarkan hukum, keputusan direksi harus diberikan sebelum penunjukan kuasa dan pengajuan PKPU. Lagi-lagi, hakim menutup mata terhadap kejanggalan ini," ujarnya.

Dia menambahkan, pihaknya juga ingin memberi pembelajaran terkait kode etik profesi advokat. "Kami sudah melaporkan kepada Dewan Kehormatan Komisi Yudisial pada Jumat kemarin, tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan Ian PSSP Siregar. Laporan ini juga sudah ditembuskan ke Mahkamah Agung, pengadilan negeri, dan majelis hakim. Ini pelanggaran kode etik yang sangat berat," tukasnya.

Saat ini, PT TPPI dijalankan manajemen baru yang terdiri dari Pertamina, BP Migas dan PT PPA yang merupakan representasi Pemerintah. Manajemen baru berkeinginan melanjutkan kelangsungan usaha dan keadilan bagi semua kreditur perusahaan. Apalagi, mayoritas kreditur PT TPPI berasal dari pemerintah (Pertamina, BP Migas dan PPA) dengan total piutang sebesar 1,1 miliar dolar AS dan kreditur non-pemerintah baik asing ataupun lokal dengan total piutang sebesar 700 juta dolar AS.

 

 

 

 

 

Restrukturisasi Utang TPPI Tunggu Kajian Deutsche Bank

Keterlambatan finalisasi restrukturisasi utang  PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), perusahaan petrokimia,  senilai Rp 9,92 triliun karena perusahaan menunggu kajian Deutsche Bank, selaku pemberi pinjaman ke perusahaan, terkait sejumlah permintaan dari tiga kreditor. Afdhal Bahauddin, Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero),  menyatakan  kajian Deutshce Bank itu  juga agar tidak terjadi persepsi yang salah antara pihak terutang dan yang berutang.
“Salah satu upaya untuk menghindari kesalahan persepsi melalui pemahaman yang sama atas definisi dalam tiap klausul,” ujar Afdhal, Rabu.

Dia khawatir, bila tidak ditelaah lebih mendalam, akan terjadi definisi yang berbeda dari klausul dalam perjanjian tersebut. Karena restrukturisasi utang Trans-Pacific berlaku selama 10 tahun, menurut Afdahl, Pertamina berusaha memprediksi seperti apa kondisi nantinya. “Agar kami tidak kaget saat itu terjadi nanti," ungkapnya.

Trans-Pacific memiliki utang kepada tiga kreditor dalam negeri senilai total Rp 9,92 triliun. Utang tersebut kepada Pertamina sekitar Rp 5,06 triliun, PT Perusahaan Pengelola Aset Rp 3,26 triliun, dan ke Badan Pelaksana Kegiatan  Hulu Minyak dan Gas Bumi sekitar Rp 1,66 triliun. Amir Sambodo, Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries, induk usaha Trans-Pacific, hingga berita ini diturunkan belum bisa dikonfirmasi.

Afdhal menyebutkan bila restrukturisasi utang disepakati, dalam kurun waktu sekitar dua minggu setelah kesepakatan tersebut, Deutsche Bank berjanji membayar cicilan pertama utang mereka ke Pertamina sebesar US$ 300 juta.

Terkait dengan rencana pemberian jaminan letter of credit (L/C) Trans-Pacific kepada Pertamina untuk membayar cicilan selama 10 tahun, menurut Afdhal, hingga kini ada beberapa hal yang masih dibahas, antara lain pihak yang akan mengeluarkan (issuer) L/C. Pertamina meminta L/C itu dilakukan oleh bank yang andal. "Kami maunya compatible bank, lalu terms and conditions-nya dapat kami terima," ujarnya.

L/C ini merupakan bentuk jaminan kepada Pertamina agar Trans-Pacific dapat menyicil utang open account-nya sekitar US$ 183 juta plus bunga US$ 49 juta selama 10 tahun.

Gatot Trihargo, Asisten Deputi Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian Badan Usaha Milik Negara, mengatakan pembahasan isi dari restrukturisasi utang ini sebenarnya sudah selesai dan mencapai kesepakatan. Pembahasan saat ini fokus pada masalah administrasi dan legalitas (legal drafting) kesepakatan tersebut.

“Proses legalitas ini memakan waktu agar tidak terjadi salah persepsi antara Trans-Pacific dan kreditor, sehingga restrukturisasi utang ini berjalan lancar. Salah satunya yaitu mengenai penulisan L/C,” ujar dia.

Sumber : Indonesia Finance Today - 22 September 2011

 

TPPI Ajukan Skema Restrukturisasi Utang

Penjamin utang PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro), Honggo Wendratno, melayangkan surat skema restrukturisasi utang anak usahanya, PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), kepada Menteri Keuangan pada 2 Desember lalu. Intinya, utang US$ 600 juta akan dilunasi tepat waktu dengan mekanisme restrukturisasi, didukung sebuah bank internasional.
Syaratnya, ada jaminan pasokan kondensat dari Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) serta kontrak pembelian produk oleh PT Pertamina (Persero) dengan PT PLN (Persero) selama 10 tahun. “Kalau mekanisme ini jalan, seluruh utang terlunasi dalam dua bulan,” ujar Direktur Utama Tuban Petro Amir Sambodo kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Ini merupakan alternatif penyelesaian utang pada Pertamina selain konversi utang menjadi ekuitas. Pertamina mencatat Trans Pacific memiliki utang pengiriman produk dan delayed payment note sebesar US$ 546,2 juta. Utang yang default alias gagal bayar ini muncul karena kilang Trans Pacific sempat berhenti beroperasi.

Adapun Tuban Petro berutang Rp 6 triliun kepada pemerintah sebagai bagian proses penyelesaian utang Grup Tirtamas pasca krisis 1998 kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sebanyak 70 persen saham Tuban Petro dikuasai pemerintah dan sisanya dimiliki PT Silakencana Tirtalestari milik Honggo.

Utang Trans Pacific melambung karena pemecah gelombang perusahaan di pelabuhan rusak pada 2008. Akibatnya, setelah dua tahun pasokan solar dan minyak tanah berlangsung mulus, operasionalisasi perusahaan terhenti. Apalagi harga minyak melonjak.

Trans Pacific lalu diwajibkan menerbitkan surat utang berjangka enam bulan senilai US$ 50 juta atau delayed payment note jika gagal membayar. Pertamina akhirnya menghentikan pasokan kondensat 100 ribu barel per hari dari Lapangan Senipah ke kilang Trans Pacific.

Setelah kilang berhenti beroperasi selama setahun, BP Migas memasok 40 ribu barel kondensat per hari ke kilang itu pada Oktober 2009. Pasokan ini atas perintah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar kilang beroperasi dan utang terbayar.

Namun, setelah beroperasi, kilang ternyata hanya memproduksi solar, minyak tanah, dan Premium, yang notabene tidak bisa diekspor. Tapi Pertamina bersikeras enggan membeli karena utang harus dibayar terlebih dahulu.

Pertamina dua pekan lalu melayangkan surat kepada Trans Pacific, yang intinya bersedia membeli minyak dari kilang Tuban, asalkan perusahaan membayar utang yang jatuh tempo. Trans Pacific diberi tenggat dua bulan hingga Februari 2011. “Kami ingin utang dibayar. Kalau tidak, kami akan mengambil aset mereka,” ujar juru bicara Pertamina, Mochammad Harun.

Kementerian Keuangan memberikan tenggat dua bulan bagi Tuban Petro untuk melunasi utangnya. Jika tidak selesai, perusahaan diambil alih tanpa syarat, dan Honggo harus menandatangani pernyataan tak akan melakukan perlawanan hukum.

Pemerintah nantinya bisa mengambil alih dua anak usaha Tuban Petro lainnya, yaitu Polytama Propindo dan PT Petro-Oxo Nusantara. Pertamina hanya bisa mengambil Trans Pacific.

Sumber : Koran Tempo - 13 Desember 2010

 

BP Migas Kembali Pasok Kondensat ke TPPI

BP Migas mulai hari ini kembali memasok kondensat ke PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan sudah kembali berjalan dengan kisaran 4.000 barel.
Hal ini disampaikan Public Affairs & Institution Relations BP Migas, Elan Biantoro ketika ditemui di kantor BP Migas Gedung Patra Jasa, Kamis (28/10). Menurutnya, penghentian pasokan ke TPPI kemarin disebabkan selama ini TPPI serig mengalami keterlambatan dalam hal pembayaran. TPPI mengakui adanya keterlambatan pembayaran tersebut dan siap dikenakan denda akan keterlambatan pembayaran. "Berkenaan dengan denda yang dikenakan, PT TPPI telah membayarnya," katanya.

Ketika ditanya kisaran denda yang dikenakan, Elan tidak mengetahui secara pasti. "Namun pada dasarnya tidak ada masalah terkait hal ini, tukasnya.

Menurutnya, jika kemarin ada penghentian pasokan ke PT TPPI, itu hanya berupa omongan-omongan saja dan tidak ada aturan secara resmi. "BP Migas hanya meminta agar PT TPPI tidak terlambat melakukan pembayaran di kemudian hari dan PT TPPI menyanggupi, tambahnya.

Terhitung mulai hari ini, BP Migas sudah kembali memberikan pasokan kondesat ke PT TPPI dengan kisaran di 4.000-an barel.

Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menghentikan sementara pasokan kondensat ke PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Deputi Operasi BP Migas, Budi Indianto mengatakan penghentian sementara tersebut dilakukan sampai TPPI memperoleh persetujuan penunjukan penjual (sales appointment agreement/SAA). "Mereka (TPPI) juga harus menyelesaikan utang-utangnya yang diminta orang keuangan (Kementerian Keuangan)," katanya.

Sumber : Inilah.com - 29 Oktober 2010

 

TPPI Akan Beli Kondensat dari BP Migas

PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) telah sepakat untuk melunasi utang kepada Kementerian Keuangan dan kepada PT Pertamina (Persero) sebagai syarat untuk membeli kondensat dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Kondensat yang dibeli dari BP Migas tersebut akan digunakan untuk memasok solar ke sejumlah pembangkit listrik milik PT PLN (Persero).

“Saya yang memiliki saham di TPPI dengan difasilitasi oleh Kementerian Keuangan mencari alternatif, akhirnya diberikan langsung kondensat dari BP migas kepada TPPI,” kata Amir Sambodo, presiden Direktur PT Tuban Petrochemical Industri (TPI), kepada Investor Daily di sela acara diskusi Menuju Kemakmuran Energi di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (27/10).

Amir menguraikan, persoalan utang-piutang dengan PT Pertamina muncul karena dahulu kondensat disuplai oleh Pertamina, sebetulnya kondensat itu adalah milik BP Migas. Tetapi aturan di BP Migas sifatnya terbuka, karena sebagian pembeli di BP migas adalah perusahaan asing.

Pertamina, lanjut Amir, memiliki aturan sendiri, yakni keputusan presiden (keppres) untuk membeli langsung ke BP Migas dengan harga pasar. “Makanya hanya Pertamina yang boleh. Sehingga TPPI pada saat itu tidak boleh ke BP Migas, tetapi lewat Pertamina. Namun karena ada krisis pada 2008, yang menyebabkan harga minyak mentah mencapai US$ 140 per barel,” kata dia.

Dengan situasi seperti itu, menurut dia, Pertamina tidak mau lagi menyuplai kondensat ke TPPI dengan alasan TPPI belum melunasi pembayaran kondensat senilai kurang lebih US$ 200 juta.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Humas BP Migas Elan Biantoro. Dia mengatakan bahwa TPPI telah sepakat untuk melunasi utang kepada Kementerian Keuangan dan kepada Pertamina, sehingga memenuhi persyaratan untuk membeli kondensat dari pemerintah.

Menurut Elan, TPPI juga telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan BP Migas dalam perjanjian penunjukan penjualan (SAA) untuk pembelian kondensat dengan jumlah 40 hingga 45 ribu barel per hari.

“TPPI dengan demikian telah memenuhi persayaratan untuk membeli antara 40.000 hingga 45.000 barel per hari kondensat dari BP Migas,” kata Elan Biantoro.

Dia menyampaikan, pengiriman kondensat ke pelabuhan TPPI yang terletak di Jawa Timur dimulai Rabu (27/10) ini. “Pengiriman kondensat ke pelabuhan TPPI di Tuban, Jawa Timur dijadwalkan mulai hari ini,” tegas dia.

Dia mengatakan, TPPI membutuhkan pasokan kondensat, sehingga perusahaan tersebut bisa memenuhi komitmennya untuk memasok solar ke PLN. Baru-baru ini, TPPI dan Pertamina berhasil memenangkan tender pengadaan solar oleh PLN untuk memasok bahan bakar ke sejumlah pembangkit milik perusahaan setrum Negara ini.

Sebagai informasi, sebagian saham TPPI dimiliki oleh Tuban Petro, yang dimiliki PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dengan saham senilai Rp 3,2 triliun. Kepemilikan saham pemerintah di TPPI melalui PPA tersebut terjadi seiring dengan konversi utang pemilik lama TPPI menjadi saham.

TPPI dirintis oleh Tirtamas Group pada 1995. Saat krisis 1997 Tirtamas terlilit utang dan masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sehingga proyek TPPI terhenti.

Kemudian pada 2002, Tirtamas dan BPPN sepakat merestrukturisasi utang dengan membentuk induk usaha PT Tuban Petro yang antara lain mengelola TPPI.  Kesepakatannya adalah 70% saham Tuban Petro dimiliki BPPN yang sudah menjelma menjadi PPA dan 30% dikuasai PT Silakencana Tirtalestari milik Honggo Wendratmo.

Sumber : Investor Daily - 28 Oktober 2010

 

Kementerian Keuangan Bahas Utang Macet TPPI Di BP Migas & Pertamina

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengakui ada pertemuan antara Pertamina, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan BP Migas.
Informasi yang diterima Rakyat Merdeka menyebutkan, pertemuan itu salah satunya membahas soal utang-utang TPPI baik di Pertamina maupun di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP) Migas.

Ketika ditemui, Agus Marto enggan menjelaskan lebih jauh soal pertemuan tersebut. “Ah itu hanya pertemuan rutin biasa,” cetusnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Sebelumnya, pihak Pertamina mendesak peradilan Arbitrase agar segera mempailitkan TPPI karena perusahaan ini mengemplang utang senilia 600 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,4 triliun.

Juru bicara Pertamina M Harun mengakui, ada pertemuan yang difasilitasi Kementerian Keuangan guna membahas persolaan penyelesaian utang TPPI, termasuk pasokan minyak mentah dari Pertamina dan Senipah dari BP Migas. Persoalan TPPI dan BP Migas ter-sebut mirip dengan Pertamina. TPPI diketahui juga menangguk utang dengan BP Migas. Karena utang-utang tersebut, BP Migas dikabarkan sempat menghentikan pasokan Senipah ke TPPI.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Dinas Humas BP Migas Elan Biantoro belum bisa menye-butkan angka pasti beban utang TPPI tersebut. “Kami tengah mengkoordinasi dengan deputi terkait sehingga belum bisa memberikan keterangan lebih jauh,” cetusnya.

Deputi Operasi BP Migas Budi Indianto mengakui ada penghentian sementara pasokan kondesat ke TPPI. Penghentian ini, lanjutnya dilakukan hingga ada kepastian soal persetujuan penunjukkan penjualan (sales appointment agreement)

Sedangkan Agus Marto juga enggan menjelaskan soal desakan agar BP Migas dan TPPI membuat sales appointment agreement. “Itu urusan teknis lah,’’ cetus bekas Dirut Bank Mandiri ini.

Secara terpisah, Dirut PT TPPI Amir Sambodo mengaku tengah menunggu penyelesaian utang dengan Pertamina. Karena akibat beban utang tersebut, pihaknya menunda pembangunan refinery.

Amir mengaku, total utang TPPI kepada Pertamina sebanyak 500 juta dolar AS. “Dan sudah dicicil, sehingga saat ini sisa utang termasuk bunganya ke Pertamina sekitar  375 juta dolar AS,” ujarnya.

Sumber : Rakyat Merdeka - 27 Oktober 2010

Akhirnya, Produksi Awal Blok Cepu Maksimal



Mobil Cepu Ltd. (MCL), anak perusahaaan Exxon Mobil Corporation, akhirnya berhasil melakukan produksi awal Lapangan Banyuurip, Blok Cepu, di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dengan maksimal. Pada awal Desember ini, kegiatan produksi awal telah menunjukkan keberhasilan dalam mengolah minyak yang akan dijual, sesuai ataupun diatas rancangan kapasitasnya yaitu 20.000 barel per hari.

Fasilitas tersebut, saat ini memproses hingga 12.000 barel minyak per hari, yang berasal dari empat sumur produksi yang telah dibor sebelumnya. Angka ini akan terus meningkat hingga mencapai rancangan kapasitasnya, seiring dengan fasilitas-fasilitas baru yang dikembangkan oleh para pembeli; serta sesuai dengan kemampuan pembeli untuk menerima pengiriman melalui pipa terpasang. Kegiatan produksi di fasilitas produksi awal ini akan terus berlangsung hingga lapangan dikembangkan secara penuh.

”Sumur produksi di Lapangan Banyuurip bekerja dengan baik. Begitu juga fasilitas-fasilitas produksi awal yang mulai dioperasikan pada bulan Agustus ini akan meningkatkan nilai ekonomis pada kesuluruhan proyek dengan tentunya mendukung tujuan pemerintah Indonesia serta prioritas produksi energi,” ujar Michael K. Nelson, Presiden Mobil Cepu Ltd melalui press release yang dikirim pada www.suarabanyuurip.blogspot.com.

Kesuksesan atas dimulainya penggunaan fasilitas ini, kata Mcihael K. Nelson, menunjukkan tingginya komitmen semua orang yang terlibat dalam mengembangkan sumber daya minyak dan gas bumi di Blok Cepu secara aman dan efisien.

”Keberhasilan ini merupakan tonggak dari kemitraan yang sangat baik bersama Pertamina, bekerja bersama demi kepentingan bangsa,” tegasnya.

Haposan Napitupulu, Presiden Direktur Pertamina EP Cepu, menyatakan, bahwa produksi awal adalah permulaan yang baik bagi pengembangan Blok Cepu, dan Pertamina bersama ExxonMobil juga ingin secepat mungkin mencapai kapasitas produksi penuh. Seperti kontrak EPC dan juga pembebasan lahan, demi mewujudkan fasilitas untuk pengolahan 165.000 barel minyak per hari.

”Untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama dengan BP. MIGAS dan dukungan semua pihak yang menjadi mitra dalam menghadapi berbagai tantangan pengembangan kapasitas produksi penuh,” tandasnya.

Pembagian saham dalam pengelolaan Blok Cepu, ExxonMobil dan Pertamina masing-masing memiliki 45%. Sementara 10% lainnya dimiliki oleh empat perusahaan milik daerah (BUMD) setempat.

Perlu diketahui, anak perusahaan Exxon Mobil Corporation dan pendahulunya telah beroperasi di Indonesia selama lebih dari 100 tahun. Semenjak 1968 perusahaan yang berbasisi di Amerikan Serikat ini telah berinvestasi lebih dari $19 milyar. Selama beroperasi di Indonesia, ExxonMobil telah aktif dalam membantu masyarakat di sekitar daerah operasinya.




Solusi Kisruh Pertamina – TPPI Mendesak 


Menteri Keuangan Sri Mulyani diharapkan segera menyelesaikan sengketa utang-piutang Pertamina dengan TPPI. Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golongan Karya Dito Ganinduto mengatakan, Menkeu harus sudah menyelesaikan persoalan utang-piutang tersebut sebelum meninggalkan Indonesia pada akhir bulan Mei ini.
Dito menambahkan, semakin lama penyelesaiannya maka semakin banyak lagi utang TPPI kepada Pemerintah maupun Pertamina  yang pada akhirnya berpotensi merugikan Negara. Penyelesaian terbaik menurut Dito adalah sesuai usulan Pertamina kepada Menkeu, yakni Pertamina membeli 70% saham Tuban Petro yang dimiliki PT PPA senilai Rp 3,2 trilyun. Dengan demikian, Pertamina akan menguasai mayoritas saham TPPI sebesar 74.5%.

Dampaknya, Pertamina akan mengendalikan TPPI yang memiliki kilang di Tuban, Jatim dengan produk antara lain berupa napthan, solar dan mogas 88. Investasi tersebut jauh lebih murah dibandingkan membangun kilang baru dengan kapasitas sama yang mencapai US$ 4-5 milyar. Kilang TPPI tersebut juga menjadi solusi penyulingan hasil minyak mentah Blok Cepu, Bojonegoro yang ditargetkan berproduksi 165.000 barel per hari mulai tahun 2014.

Sumber : Seputar Indonesia - 21 Mei 2010
 


Tambah saham Pertamina di TPPI 


Proposal PT Pertamina (Persero) untuk menambah kepemilikan saham di PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dinilai sebagai solusi terbaik atas penyelesaian utang-piutang perusahaan.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golongan Karya Dito Ganinduto menilai dengan penambahan saham itu, kepemilikan Pertamina di TPPI yang mempunyai kilang di Tuban, Jatim, itu akan dominan. Sejalan dengan itu, ketergantungan Pertamina atas minyak impor juga akan dapat dikurangi.

"Dengan menambah investasi sebesar US$1 miliar, kapasitas kilang TPPI bisa menjadi 200.000 barel per hari," ujarnya kemarin.

Jumlah investasi itu masih lebih murah dibandingkan dengan membangun kilang baru awal berkapasitas sama yang ditaksir bisa mencapai US$4 miliar-US$5 miliar.

Dito juga meminta Menteri Keuangan untuk ikut menyelesaikan sengketa utang-piutang Pertamina dengan TPPI. Jika persoalan ini tidak juga tuntas, Menkeu baru akan lebih lama lagi menyelesaikan persoalan karena dikhawatirkan harus memulai lagi dari awal. "Semestinya Sri Mulyani menyelesaikan dulu permasalahan ini sebelum ke Bank Dunia karena dia membawahi PPA."

Dia menjelaskan saat ini TPPI dimiliki oleh Tuban Petro dengan saham 59,5%. Adapun Tuban Petro dimiliki oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dengan saham senilai Rp3,2 triliun.

Masih opsi

Vice President Communication Corporate PT Pertamina Basuki Trikora Putra menjelaskan penambahan kepemilikan Pertamina di TPPI adalah salah satu bentuk penyelesaian yang ditawarkan oleh perusahaan. Akan tetapi, opsi yang diberikan kepada TPPI itu belum mendapatkan tanggapan. "Kami berharap menteri keuangan memberi dukungan atas penyelesaian b to b ini," ujarnya kepada Bisnis.

Sementara itu, Direktur Keuangan TPPI Bambang L. Sudibjo saat hendak dimintai keterangan tidak mengangkat panggilan Bisnis.

Lebih jauh Dito menuturkan TPPI dirintis oleh Tirtamas Group pada 1995. Akan tetapi, saat krisis 1997 Tirtamas terlilit utang dan masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sehingga proyek TPPI terhenti.

Kemudian pada 2002, Tirtamas dan BPPN sepakat merestrukturisasi utang dengan membentuk induk usaha PT Tuban Petro yang a.l. mengelola TPPI. Kesepakatannya adalah 70% saham Tuban Petro dimiliki BPPN-yang selanjutnya menjadi PPA-dan 30% dikuasai PT Silakencana Tirtalestari milik Honggo Wendratmo.

Dalam perkembangannya, Tuban Petro akhirnya memiliki 59,5% saham TPPI. Lalu, Honggo menerbitkan obligasi multiyear bond senilai Rp3,2 triliun kepada BPPN.

Pada bagian lain, perusahaan Jepang Mitsui Co memberikan utang US$400 juta dolar AS untuk melanjutkan pembangunan kilang TPPI. Ini diberikan dengan syarat mendapat jaminan dari Pemerintah Indonesia berupa pasokan low sulfur waxy residu (LSWR) yang harus diserahkan oleh Indonesia kepada Mitsui.

Untuk itu, pemerintah meminta Pertamina memasok LSWR sebanyak 18.000-20.000 barel per hari selama 6 tahun yang dinilai dengan harga pasar. Sebagai gantinya, Pertamina memiliki 15% saham TPPI.

Dengan demikian, kepemilikan saham TPPI adalah Tuban Petro 59,5%, Pertamina 15%, dan sisanya 25,5% dimiliki Mitsui, Sojits, dan Siam Cement. Pada 2006, kilang selesai dibangun dan beroperasi. Pertamina kembali memasok kondensat dengan maksimum empat kargo.

Namun, menurut Dito, Honggo tidak memenuhi kewajiban ke Pertamina yakni tidak membayar empat kargo kondensat yang sampai akhir 2009 senilai US$200 juta dan tidak menyerahkan BBM yang hingga 2009 tercatat US$190 juta. ( \n
-->aprilian.hermawan@bisnis.co.id -->Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya -->)

Sumber : Bisnis Indonesia - 21 Mei 2010


Timor Sea gas block a ‘huge’ find


Ika Krismantari, The Jakarta Post, Jakarta
The Masela Timor Sea gas block in East Nusa Tenggara has potential reserves of 10 trillion cubic feet (tcf), the country’s second’s biggest after the Tangguh block in Papua, an official says.

Upstream Oil and Gas Regulator (BPMigas) chairman Priyono said Monday that based on a first drilling trial by block operator Inpex, Japan’s largest oil company, data on available reserves showed a potential “almost as big as the Tangguh gas block”.
Tangguh block in Papua holds a proven gas reserve of 14.4 trillion cubic feet. This block, operated by British oil giant BP, is scheduled for production start-up by the end of 2008.
BPMigas planning deputy Achmad Luthfi said, however, that Inpex had yet to submit its proposal on project development, estimated to cost US$7 billion.
“Inpex’s representative from Japan will come to town tomorrow, to present detailed findings,” Luthfi said.
The Masela project is expected to involve the construction of a floating liquefied natural gas (LNG) processing terminal with a total capacity expected to reach 4 million tons per annum.
This will be the first floating LNG terminal in the country.
The decision to build a floating terminal is viewed more favorably by the government than the alternative option, which is to construct a pipeline to Australia, the closest possibility to the site, BPMigas said recently.
Due to the high cost of the proposed project, Inpex plans to seek partners to build the floating LNG terminal.
When asked about the plan, Luthfi said that a partnership permit would be given to Inpex and that it could decide on the matter under a business-to-business negotiation.
Should the project be approved this year, he said, the block is expected to start production by 2013.
Data from the Directorate General of Oil and Gas shows that so far Inpex has spent US$101.1 million on seismic surveys and drilling tests in the Masela block.
In this light, Priyono was upbeat that Indonesia could get back to its 1970s heyday in terms of gas production capacity.
During the past six years, the country’s gas production has been through a stagnant period with an average production of 8.15 billion cubic feet per day.
Priyono added that there were additional hopes for national gas production based on the Semai block, which is estimated to have probable gas reserves of 1 billion barrels of oil equivalent. The Semai block was offered in the government’s tender of oil and gas blocks last year.
It is reported that a number of oil and gas giants including U.S. Chevron, Exxon and ConocoPhillips, French Total and British Shell and BP are eyeing the Semai block.
The Timor Sea is part of the Indian Ocean situated between the islands of Rote and Timor, with underwater rights now split between Indonesia, Timor Leste and Australia.
Untuk Apa Punya Minyak?
Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.
Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh-kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.
Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
Cadangan tak tersentuh
Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.
Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tidak ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.
Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.
Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.
Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.
Di sanalah, dan di anjungan-anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.
Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.
Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.
Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.
Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?
Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”
Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.
Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.
Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.
Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.
MT Zen Guru Besar Emeritus ITB
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/05/29/ 00441957/ untuk.apa. punya.minyak



Floating LNG plant off Indonesia to cost less

LOS ANGELES, Jan. 26 — The cost of a proposed floating LNG plant in Indonesia’s Timor Sea would be around $10 billion-about half an earlier government estimate-due to lower infrastructure costs, according to Inpex Holdings Inc., the project’s developer. “We expect [a figure of] around $10 billion,” said Shunichiro Sugaya, Inpex senior general manager of the Masela project, explaining that the price of steel is going down with the price of oil and that “reflects the lower price, lower capex (capital expenditure) .” Earlier this month, Indonesia tentatively agreed to Inpex’s proposal for the construction of a floating LNG plant, intended primarily for use at Abadi natural gas field in the Timor Sea. “In principle we have agreed to [the] Inpex proposal, but we are still evaluating the economic value of the project,” said Evita Legowo, director general of oil and gas at the Indonesian energy ministry (OGJ Online, Jan. 11, 2009).
Snøvhit, the world’s first all-electric LNG plant, was shipped from Spain to northern Norway.
Snøvhit, the world’s first all-electric LNG plant, was shipped from Spain to northern Norway.
Inpex Corp. currently is the sole operator of Abadi gas field on the Masela Block in eastern Indonesia, but reports surfaced earlier this month that Royal Dutch Shell was considering taking part in the project. At the time, Inpex said it would not rule out the possibility of inviting companies to take part in the project, but it had not yet held any talks with any company about selling stakes. “Since this is a big project, many people are interested. But we are not looking for partners for the time being,” said Kazuya Honda, Inpex’s public relations group manager. “Partnering with other companies in energy projects is common practice in the industry,” and there is a possibility that “Inpex would partner with somebody if we think it’s necessary to diversify risks,” he added. However Inpex has not decided whether to look for other companies to join the project, according to Sugaya. “We have not yet decided (on) any farm-out policy now,” he said, adding that under the production-sharing contract there is 10% participation for Indonesia and 90% for Inpex. The Japanese firm estimates there is more than 10 tcf of gas reserves in Abadi field, which-if confirmed-would make the project the second-biggest new gas field after the Tangguh project in Papua, which has combined reserves of 14.4 tcf. Inpex plans to construct one LNG train having a capacity of 4.5 million tonnes/year, with production to begin in 2016. Japanese buyers constitute the main market for the LNG, while the Indonesian government also wants some supply for its domestic market, said Sugaya.
Contact Eric Watkins at hippalus@yahoo. com.
http://www.ogj. com/display_ article/351435/ 7/ARTCL/none/ none/Floating- LNG -plant-off-Indonesi a-to-cost- less/?dcmp= OGJ.Daily.

CHEVRON UMUMKAN TEMUAN GAS DI LAUT AUSTRALIA
Sydney – Perusahaan energi Chevron Corporation mengumumkan penemuan gas alam di perairan barat Australia, Senin 19 Oktober 2009, di Sydney. Penemuan sumber gas alam baru tersebut akan mendukung proyek besar “liquefied natural gas” (LNG) Gorgon. Perusahaan energi terkemuka itu mengatakan, gas ditemukan sekitar 100 meter dari kedalaman 4.500 meter yang dibor di sumur eksplorasi Achilles-1 yang berlokasi 160 kilometer dari lepas pantai.
“Kesuksesan program pengeboran kami akan menambah sumber gas alam untuk menyokong proyek Gorgon dan Wheatstone,” kata direktur pelaksana Chevron Australia, Roy Krzywosinski. Bulan lalu, Chevron, Shell dan ExxonMobil sepakat untuk mengembangkan proyek Gorgon dengan biaya sekitar US$55 miliar untuk fase konstruksi awal.


Chevron Kembangkan Deepwater di Kutai Basin


Pengembangan Kutai Basin Deepwater melibatkan 4 (empat) kontraktor, yaitu: Chevron Rapak, Ltd., Chevron Ganal, Ltd., Chevron Makassar Ltd,. dan Chevron Muara Bakau B.V. Pengembangan Kutai Basin Deepwater ini mencakup 5 (lima) lapangan secara terpadu, yaitu: Gendalo, Maha, Gandang, Gehem, dan Bangka. Lapangan Gehem merupakan unitisasi antara Rapak PSC dan Ganal PSC, Lapangan Gendalo merupakan unitisasi antara Ganal PSC dan Makassar Strait PSC. Sementara Lapangan Maha merupakan unitisasi Lapangan Ganal PSC Makassar Strait PSC dan Muara Bakau PSC.
Direncanakan, kegiatan produksi gas maupun kondensat dapat direalisasikan pada tahun 2014. Tingkat produksi awal pengembangan Kutai Basin Deepwater adalah 120 MMSCFD gas dan 2.880 bopd kondensat. Puncak produksi gas sebesar 924 MMSCFD diperkirakan akan dicapai pada tahun 2017. Sementara puncak produksi kondensat sebesar 23.000 bopd diperkirakan dicapai setelah tahun 2016. Batas nilai keekonomian produksi gas maupun kondensat lapangan ini diperkirakan dicapai pada tahun 2028.
Biaya pengembangan Kutai Basin Deepwater direncanakan sebesar US$ 6,98 miliar, terdiri dari biaya pemboran US$ 2,19 miliar dan pembangunan fasilitas produksi US$ 4,79 miliar.