Sumber : Bisnis Indonesia - 21 Mei 2010
Timor Sea gas block a ‘huge’ find
Categories: Offshore Technology and Oil and Gas
Ika Krismantari, The Jakarta Post, Jakarta
The Masela Timor Sea gas block in East Nusa Tenggara has potential reserves of 10 trillion cubic feet (tcf), the country’s second’s biggest after the Tangguh block in Papua, an official says.
Upstream Oil and Gas Regulator (BPMigas) chairman Priyono said Monday that based on a first drilling trial by block operator Inpex, Japan’s largest oil company, data on available reserves showed a potential “almost as big as the Tangguh gas block”.
Tangguh block in Papua holds a proven gas reserve of 14.4 trillion cubic feet. This block, operated by British oil giant BP, is scheduled for production start-up by the end of 2008.
BPMigas planning deputy Achmad Luthfi said, however, that Inpex had yet to submit its proposal on project development, estimated to cost US$7 billion.
“Inpex’s representative from Japan will come to town tomorrow, to present detailed findings,” Luthfi said.
The Masela project is expected to involve the construction of a floating liquefied natural gas (LNG) processing terminal with a total capacity expected to reach 4 million tons per annum.
This will be the first floating LNG terminal in the country.
The decision to build a floating terminal is viewed more favorably by the government than the alternative option, which is to construct a pipeline to Australia, the closest possibility to the site, BPMigas said recently.
Due to the high cost of the proposed project, Inpex plans to seek partners to build the floating LNG terminal.
When asked about the plan, Luthfi said that a partnership permit would be given to Inpex and that it could decide on the matter under a business-to-business negotiation.
Should the project be approved this year, he said, the block is expected to start production by 2013.
Data from the Directorate General of Oil and Gas shows that so far Inpex has spent US$101.1 million on seismic surveys and drilling tests in the Masela block.
In this light, Priyono was upbeat that Indonesia could get back to its 1970s heyday in terms of gas production capacity.
During the past six years, the country’s gas production has been through a stagnant period with an average production of 8.15 billion cubic feet per day.
Priyono added that there were additional hopes for national gas production based on the Semai block, which is estimated to have probable gas reserves of 1 billion barrels of oil equivalent. The Semai block was offered in the government’s tender of oil and gas blocks last year.
It is reported that a number of oil and gas giants including U.S. Chevron, Exxon and ConocoPhillips, French Total and British Shell and BP are eyeing the Semai block.
The Timor Sea is part of the Indian Ocean situated between the islands of Rote and Timor, with underwater rights now split between Indonesia, Timor Leste and Australia.
Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.
Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh-kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.
Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
Cadangan tak tersentuh
Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.
Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tidak ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.
Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.
Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.
Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.
Di sanalah, dan di anjungan-anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.
Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.
Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.
Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.
Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?
Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”
Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.
Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.
Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.
Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.
MT Zen Guru Besar Emeritus ITB
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/05/29/ 00441957/ untuk.apa. punya.minyak
Floating LNG plant off Indonesia to cost less
LOS ANGELES, Jan. 26 — The cost of a proposed floating LNG plant in Indonesia’s Timor Sea would be around $10 billion-about half an earlier government estimate-due to lower infrastructure costs, according to Inpex Holdings Inc., the project’s developer. “We expect [a figure of] around $10 billion,” said Shunichiro Sugaya, Inpex senior general manager of the Masela project, explaining that the price of steel is going down with the price of oil and that “reflects the lower price, lower capex (capital expenditure) .” Earlier this month, Indonesia tentatively agreed to Inpex’s proposal for the construction of a floating LNG plant, intended primarily for use at Abadi natural gas field in the Timor Sea. “In principle we have agreed to [the] Inpex proposal, but we are still evaluating the economic value of the project,” said Evita Legowo, director general of oil and gas at the Indonesian energy ministry (OGJ Online, Jan. 11, 2009).
Snøvhit, the world’s first all-electric LNG plant, was shipped from Spain to northern Norway.
Inpex Corp. currently is the sole operator of Abadi gas field on the Masela Block in eastern Indonesia, but reports surfaced earlier this month that Royal Dutch Shell was considering taking part in the project. At the time, Inpex said it would not rule out the possibility of inviting companies to take part in the project, but it had not yet held any talks with any company about selling stakes. “Since this is a big project, many people are interested. But we are not looking for partners for the time being,” said Kazuya Honda, Inpex’s public relations group manager. “Partnering with other companies in energy projects is common practice in the industry,” and there is a possibility that “Inpex would partner with somebody if we think it’s necessary to diversify risks,” he added. However Inpex has not decided whether to look for other companies to join the project, according to Sugaya. “We have not yet decided (on) any farm-out policy now,” he said, adding that under the production-sharing contract there is 10% participation for Indonesia and 90% for Inpex. The Japanese firm estimates there is more than 10 tcf of gas reserves in Abadi field, which-if confirmed-would make the project the second-biggest new gas field after the Tangguh project in Papua, which has combined reserves of 14.4 tcf. Inpex plans to construct one LNG train having a capacity of 4.5 million tonnes/year, with production to begin in 2016. Japanese buyers constitute the main market for the LNG, while the Indonesian government also wants some supply for its domestic market, said Sugaya.
Contact Eric Watkins at hippalus@yahoo. com.
http://www.ogj. com/display_ article/351435/ 7/ARTCL/none/ none/Floating- LNG -plant-off-Indonesi a-to-cost- less/?dcmp= OGJ.Daily.
CHEVRON UMUMKAN TEMUAN GAS DI LAUT AUSTRALIA
“Kesuksesan program pengeboran kami akan menambah sumber gas alam untuk menyokong proyek Gorgon dan Wheatstone,” kata direktur pelaksana Chevron Australia, Roy Krzywosinski. Bulan lalu, Chevron, Shell dan ExxonMobil sepakat untuk mengembangkan proyek Gorgon dengan biaya sekitar US$55 miliar untuk fase konstruksi awal. |
Pengembangan Kutai Basin Deepwater melibatkan 4 (empat) kontraktor, yaitu: Chevron Rapak, Ltd., Chevron Ganal, Ltd., Chevron Makassar Ltd,. dan Chevron Muara Bakau B.V. Pengembangan Kutai Basin Deepwater ini mencakup 5 (lima) lapangan secara terpadu, yaitu: Gendalo, Maha, Gandang, Gehem, dan Bangka. Lapangan Gehem merupakan unitisasi antara Rapak PSC dan Ganal PSC, Lapangan Gendalo merupakan unitisasi antara Ganal PSC dan Makassar Strait PSC. Sementara Lapangan Maha merupakan unitisasi Lapangan Ganal PSC Makassar Strait PSC dan Muara Bakau PSC.
Direncanakan, kegiatan produksi gas maupun kondensat dapat direalisasikan pada tahun 2014. Tingkat produksi awal pengembangan Kutai Basin Deepwater adalah 120 MMSCFD gas dan 2.880 bopd kondensat. Puncak produksi gas sebesar 924 MMSCFD diperkirakan akan dicapai pada tahun 2017. Sementara puncak produksi kondensat sebesar 23.000 bopd diperkirakan dicapai setelah tahun 2016. Batas nilai keekonomian produksi gas maupun kondensat lapangan ini diperkirakan dicapai pada tahun 2028.
Biaya pengembangan Kutai Basin Deepwater direncanakan sebesar US$ 6,98 miliar, terdiri dari biaya pemboran US$ 2,19 miliar dan pembangunan fasilitas produksi US$ 4,79 miliar.
Direncanakan, kegiatan produksi gas maupun kondensat dapat direalisasikan pada tahun 2014. Tingkat produksi awal pengembangan Kutai Basin Deepwater adalah 120 MMSCFD gas dan 2.880 bopd kondensat. Puncak produksi gas sebesar 924 MMSCFD diperkirakan akan dicapai pada tahun 2017. Sementara puncak produksi kondensat sebesar 23.000 bopd diperkirakan dicapai setelah tahun 2016. Batas nilai keekonomian produksi gas maupun kondensat lapangan ini diperkirakan dicapai pada tahun 2028.
Biaya pengembangan Kutai Basin Deepwater direncanakan sebesar US$ 6,98 miliar, terdiri dari biaya pemboran US$ 2,19 miliar dan pembangunan fasilitas produksi US$ 4,79 miliar.